Thursday, 29 November 2012

Perjalanan Ke Salah Satu Daerah Tambang di Kalimantan Selatan II

Jika pada cerita sebelumnya di Perjalanan ke salah satu daerah tambang di Kalimantan Selatan saya tidak menceritakan lebih detil tentang lokasi tambang tersebut karena akses saya yang terbatas. Nah, di tulisan kali ini saya coba menambah sedikit cerita dan gambar, karena kebetulan saya dapat tawaran untuk ikut ke salah satu lokasi dekat penggalian dan workshopnya.

Sebelumnya, saya akan ceritakan bagaimana saya berangkatnya terlebih dahulu.

Sudah lama saya tidak mengunjungi lokasi ini dikarenakan kesibukan dan hal lainnya. Akhirnya setelah bertemu dengan sang klien, timbul kewajiban untuk mengunjunginya. Pada hari Sabtu kemarin (24 November 2012) saya memutuskan berangkat ke Banjarmasin menggunakan pesawat Citilink. Kenapa Citilink? Karena pada waktu itu hanya pesawat ini yang termurah, pelit ya? hahahahah... Pesawat dijadwalkan berangkat jam 12.35 dari Jakarta dan sampai kurang lebih jam 15.30 waktu lokal, estimasi perjalanan darat lanjutan menggunakan taxi 3-4 jam, maka saya akan sampai kurang lebih jam 18-19 di camp.

Jika menurut orang beriman ada slogan: "Manusia berencana, Tuhan yang menentukan", maka sebagai orang yang kurang beriman slogan tersebut saya modifikasi sedikit: "Manusia berencana, manusia lain yang menentukan". Dan hal tersebut menimpa saya, menurut perhitungan pada umumnya hari sabtu itu lebih macet daripada hari-hari sebelumnya, terlebih malam sebelumnya Jakarta dilanda banjir di sebagian besar wilayahnya. Antisipasi macet dan sisa banjir semalam, maka saya berangkat jam 8 pagi dari rumah orang tua saya di Taman Mini. Ternyata antisipasi saya salah, perjalanan dari Taman Mini ke Bandara hanya memakan waktu 1 jam (dari waktu perkiraan 2 jam). Nah, di sinilah penderitaan akibat manusia lain yang menentukan dimulai, tiba-tiba sekitar jam 10 saya mendapat sms dari maskapai bahwa penerbangan dirubah jadwalnya hingga pukul 14.20. Wah, telat 2 jam batin saya. Beruntung saya membawa laptop dan sebuah smartphone yang bisa di tether, jadi menunggu 2 jam tidak membosankan karena sambil chatting dengan istri. Lebih dari 14.30 tidak ada kabar bahwa pesawat siap berangkat, penumpang lain sudah mulai resah, termasuk saya yang sudah mulai kehabisan batere laptop dan smartphone. Kompensasi berupa makanan berat sudah didatangkan dan para penumpang sudah terlihat tenang dengan santapannya masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 tapi tidak ada tanda-tanda pesawat tiba. Penumpang yang tadinya gelisah sudah pada mulai marah. Entah kenapa tiba-tiba terbentuk suatu solidaritas spontan, untuk menuntut kompensasi tunai sebesar Rp. 300.000 (sudah menjadi kewajiban maskapai apabila terlambat lebih dari 4 jam selain karena faktor cuaca, maskapai wajib mengganti rugi sebesar Rp.300.000). Sambil menunggu saya membaca berita terkait keterlambatan citilink di kompas.com. Penumpang Surabaya menuju Jakarta sehari sebelumnya yang terjebak keterlambatan hingga 12 jam lebih malah mendapat kompensasi sebesar Rp. 1.000.000 yang diberi langsung oleh salah satu pimpinan perusahaan. Tidak seperti penumpang lain yang ingin segera diterbangkan, (bahkan ada yang ganti pesawat) saya pribadi malah berharap keterlambatannya sampai besok pagi dan mendapat kompensasi Rp. 1.000.000. Daripada mendapat Rp. 300.000 tapi saya terdampar malam-malam dan tidak ada kendaraan (taxi) untuk melanjutkan perjalanan.

Lagi-lagi itu hanya harapan, karena toh manusia lain juga yang sudah menentukan. Akhirnya setelah jam 18.00 pesawatnya pun tiba dan siap diberangkatkan. Kurang lebih hampir jam 19.00 pesawat diberangkatkan dan sampai di Banjarmasin sekitar jam 21.00 lebih. Setelah mengajukan klaim ke counter citilink, saya bermaksud untuk menginap di masjid bandara saja, karena tidak ada ruang tunggu yang bisa digunakan untuk beristirahat. Tetapi dengan pintu masjid ditutup, saya hanya bisa menggunakan teras sebagai tempat istirahat. Dengan banyaknya orang (terutama perantauan) di teras masjid dan tas yang berisi laptop yang sangat berharga isinya, beristirahat di masjid tidak menjadi pilihan yang bijaksana. Sempat mondar-mandir untuk mencari tempat istirahat yang pas, sampai akhirnya bertemu dengan penumpang lain yang tadi satu pesawat. Dia menyarankan untuk mencari penginapan saja, banyak di sekitar bandara katanya, tinggal tanya tukang ojek. Akhirnya saya ke pangkalan ojek depan bandara dan bertanya penginapan termurah yang dekat. Terjadi sebuah interaksi yang agak menjengkelkan menurut saya:

Galih: "Bang, penginapan yang murah-murah di sekitar sini di mana?"
Ojek: "Oh iya ada, yuk saya antar?:
Galih: (setengah meniru logat setempat) "Jauh kah bang?"
Ojek: "Oh jauh, ongkosnya sepuluh ribu"
Galih: (karena sudah malam dan sudah sangat ingin istirahat) "ya udah"

Berangkatlah kami menuju penginapan yang dimaksud. Eeeeeh, baru masuk gigi tiga tidak tahunya sudah sampai.

Penginapan seharga Rp. 100.000, walaupun hanya menggunakan kipas angin tapi cukup bersih, sehingga cukup nyaman untuk ditempati. Keesokan harinya saya berangkat ke camp dengan menggunakan taxi di pangkalan. Hal baru yang saya ketahui bahwa terdapat perbedaan harga dilihat dari tempat duduknya. Jika duduk di depan, sebelah supir maka ongkosnya Rp. 40.000 tetapi jika deretan tengah dan belakang maka ongkosnya Rp. 35.000.

Akhirnya sampai juga di camp. Keesokan harinya saya mendapatkan tawaran untuk ikut jalan-jalan ke lokasi Workshop yang bersebelahan dengan lokasi penggalian. Wah, asyik.. Bisa melihat kendaraan-kendaraan HD (Heavy Duty) nih, batin saya. Langsung saja saya ambil kamera dan langsung menuju ke dalam mobil tumpangan.

Lokasinya tidak jauh dari camp tempat saya menginap. Jalan menuju ke lokasi cukup besar tapi agak kurang mulus. Sepanjang perjalanan hanya terlihat bekas galian yang sudah menjadi danau, kata supir yang mengajak saya, danau tersebut cukup dalam, bahkan konon katanya ada buayanya dan banyak ular-ular berukuran besar.


Sepanjang perjalanan banyak terlihat bekas kerukan-kerukan tanah yang ditinggal begitu saja. Memang terlihat ada sedikit area hijau dengan papan tulisan area revegetasi. Tetapi tidak sebanding dengan luas area yang telah dieksploitasi sebelumnya.



Lucunya Pak Presiden kita lebih memilih area Bandara dan mengorbankan ratusan warganya (yang sedang sibuk bekerja dan lalu lalang dari dan menuju bandara) untuk sebuah acara gerakan menanam pohon yang sifatnya hanya sekedar seremonial, dibanding gerakan menanam pohon ditempat yang seharusnya lebih membutuhkan sekaligus tidak mengorbankan warganya yang siang itu sedang pada sibuk mencari nafkah. Ah, sudahlah berbicara menyangkut politik akan membuat tulisan saya menjadi tidak enak dibaca.

Oke kembali ke lokasi. Yang membuat saya senang adalah saya melihat langsung truk-truk HD yang berukuran besar dan traktor yang berukuran lebih besar pula dengan jarak hanya beberapa meter saja.




Sebuah pemandangan yang menyenangkan sekaligus menegangkan bagi saya. Ya menegangkan apabila mereka berjalan dekat-dekat dengan kita. Sebagai penggemar film Transformer, Saya membayangkan apabila All Spark dari film tersebut jatuh di sekitar daerah ini. Tidak terbayang seberapa raksasanya robot itu jadinya.

Sudah cukup berjalan-jalannya saatnya kembali lagi ke Jakarta. Saya pun kembali menuju bandara Banjarmasin dengan menggunakan taxi. Apabila anda berangkat yang kebetulan bertepatan dengan waktu jam makan siang dan anda dikejar waktu, maka lebih baik anda mencharter mobil, karena bisa saja si supir tiba-tiba berhenti di suatu tempat makan pilihannya dia sendiri, seperti yang saya alami kemarin. Baru berjalan beberapa kilometer, bahkan belum keluar dari wilayah kecamatan, tiba-tiba si supir berhenti di sebuah tempat makan. Padahal belum juga waktu makan siang, masih jam 10.45 waktu itu. Ya sudah, karena perjalanan juga makan waktu lama, tidak ada salahnya juga untuk membeli makanan daripada di perjalanan dengan perut kosong. Ada beberapa titik rumah makan yang menjadi pilihan grup supir taxi, sepertinya telah terjadi simbiosis mutulisme antara supir taxi dan pemilik rumah makan.


Untuk seporsi ayam goreng, semangkok sayur bening dan segelas es teh kemanisan Rp. 25.000 agak kemahalan bagi saya, terlebih lagi dengan tambahan 2 ekor lalat mati yang terjebak di sambel ayam goreng tersebut. Baru saja memakan beberapa suap, sang supir dan beberapa penumpang lainnya (taxi yang saya tumpangi adalah mobil putih di paling kanan) naik ke mobil bersiap untuk berangkat. Terlihat para penumpang lainnya ternyata tidak pada makan. Saya pun buru-buru menghabiskan makanan tersebut, paling tidak ayamnya saya habiskan dan langsung bergegas masuk taxi.

Sesampainya di Bandara saya sempat berharap agar pesawatnya terlambat lagi sampai 4 jam atau kalau perlu sampai besok, supaya dapat kompensasi lagi, hahahaha... Tapi ternyata pesawatnya datang dan berangkat tepat waktu. Sepanjang perjalanan di udara, cuaca cukup cerah sehingga saya bisa berkesempatan sama dengan orang-orang lain yang memfoto sayap pesawat, terlebih lagi cuaca sedang cerah.


Dan foto gedung-gedung Jakarta, terutama gedung perkantoran di wilayah Sudirman-Thamrin serta Monas yang terlihat sangat kecil dari atas langit.



Saya tidak terlalu banyak mengeksplorasi bagian-bagian bandara Soekarno Hatta, tapi diantara semua bagian Bandara tersebut, saya paling suka Fly Over khusus pesawat (sayangnya saya berada di posisi duduk yang salah sehingga foto tidak terlalu menggambarkan fly over tersebut).


Akhirnya saya pun tiba kembali di Jakarta dengan selamat.
Demikian cerita tambahan saya mengenai perjalanan saya di salah satu daerah tambang di Kalimantan Selatan.

Salam

Thursday, 22 November 2012

Cerita seru di balik perjalanan ke Natuna

Setelah saya membaca ulang tulisan-tulisan saya terdahulu, terutama tulisan perjalanan ke Natuna II, rasanya kok masih ada yang kurang. Masih kurang menjelaskan kegiatan-kegiatan dan interaksi-interaksi yang terjadi selama saya di sana.

Mumpung saya masih ingat dan masih ada waktu luang untuk menceritakannya maka lebih baik saya tulis saja daripada nanti lupa.

Selama saya di Natuna kurang lebih 1 bulan, banyak terdapat cerita-cerita (yang menurut saya) lucu dan  menarik. Mulai dari hal yang berhubungan dengan masalah pribadi, rumah tangga, sosial, kuliner, dan hal-hal menarik lainnya.

1. Hal Pribadi dan masalah rumah tangga.
Ketika saya tiba di Natuna, saya langsung meminta kenalan saya di sana untuk dicarikan penginapan yang murah. Maklum, dana dari kantor (pada waktu itu) sangatlah minim dan saya tidak tahu daerah sana. Jadi saya pasrah saja oleh beliau dicarikan dimana. Maka setelah tim kami (yang berjumlah 6 orang) tiba di bandara, langsung kami diantar ke sebuah penginapan yang terletak di tepi pantai. Penginapan dengan bentuk rumah panggung tingkat yang terbuat dari kayu, yang berdiri diatas pantai. Agak kumuh sebenarnya, tapi ya demi menghemat supaya kami tidak kehabisan ongkos selama di sana. Penginapannya terdapat di lantai atas, dengan (kalau tidak salah ingat) 6 kamar dan 2 kamar mandi luar.
Kamarnya pun tidak besar, dengan ukuran kurang dari 3x4 meter dan diisi oleh 6 orang termasuk barang bawaan dan perkakas kerja, tapi kondisi tersebut tidak lama, karena sebagian besar tim akan terpencar-pencar ke wilayah lain di kabupaten Natuna.
Setelah beberapa hari tinggal di penginapan tersebut saya jadi tahu bahwa si ibu pemilik penginapan ini ternyata merupakan istri simpanan dari kenalan saya. Hal tersebut saya ketahui karena kenalan saya ini hampir setiap hari datang berkunjung, lalu berakhir ke sebuah kamar. Saya tidak ingin mencari tahu sebenarnya, bahkan saya tidak mau tahu, karena itu bukan urusan saya. Tapi namanya interaksi, pasti terjadi basa-basi sambil ngobrol ketika beli makan di tempatnya (si ibu ini juga pemilik warung makan di lantai bawah), si ibu ini bercerita bahwa sebenernya dia adalah istri simpanan dari kenalan saya. Si bapak kenalan saya ini sebenarnya sudah punya istri dan anak yang sedang kuliah di kampung halamannya. Dalam hati saya berkata: "woooh, pantesan aja si bapak ini getol banget ngarahin kami ke sini, padahal harusnya masih ada tempat lain".

Selain itu, si ibu ini punya seorang pembantu yang sedang hamil tua, ditinggal kabur suaminya kata si ibu ini. Kenapa saya harus tahu hal-hal yang seperti ini sih, gumam saya dalam hati. Secara kebetulan tepat di hari ulang tahun saya, pembantu si ibu ini terlihat gejala akan melahirkan. Saya pun diminta tolong untuk menjemput bidan. Saya pun bergegas naik motor menjemput bidan yang dimaksud, mana sudah larut malam pula, dengan jarak yang lumayan jauh, plus masih harus mengantar pulang kembali bidan tersebut. Niat awal berangkat ke Natuna untuk bekerja mencari uang, malah ikut membantu orang melahirkan, batin saya. Tapi tidak apa-apalah, saya jadi punya teman yang berulang tahun di tanggal yang sama, sekaligus ikut membantu meringankan beban orang.

Hal yang paling menarik dari penginapan ini adalah, rumah ini gampang bergoyang. Diperparah dengan kelakuan tetangga kamar sebelah. Rupanya tetangga kamar sebelah adalah seorang pemuda Jakarta yang sedang merantau dan mencoba mengadu nasib untuk berbisnis di Natuna. Sama seperti kami, dia pun mencari penginapan termurah untuk mengurangi biaya hidup. Rupanya waktu berjalan, pemuda ini kepincut dengan gadis penghibur lokal (cerita ini akan saya bahas di bawah) dan sering dibawa "ngamar" ke kamarnya. Nah, ketika aksi itu terjadi, ikut bergoyanglah seluruh bangunan ini. Lucunya, karena dinding sekat kamar hanya terbuat dari triplek, maka apa yang mereka lakukan kadang sampai terdengar di kamar kami, hahahaha...

Hal lucu lainnya adalah ketika saya dan sebagian tim saya datang ke salah satu desa yang cukup jauh dari penginapan kami. Objek pekerjaan kami adalah sebuah infrastruktur milik pemda yang dipinjamkan kepada para penduduk terpilih. Kami sebagai pelaksana otomatis hanya melakukan pekerjaan sebatas dengan daftar nama yang kami terima. Rupanya, ada salah satu penerima yang sedang dalam proses cerai, lucunya lagi si istri mengganggap bahwa objek ini merupakan bagian dari harta gono-gini dan minta untuk dibagi. Masalah ini cukup alot, bahkan sampai orang pemda datang ke desa tersebut untuk membicarakan hal tersebut bersama yang bersangkutan dan kepala desa. Tidak sopan memang menaruh nama asli yang bersangkutan dalam cerita saya ini, tapi cerita ini akan tidak seru dan tidak lengkap kalau nama yang bersangkutan itu tidak saya cantumkan. Dengan asumsi bahwa yang bersangkutan dan kawan-kawannya atau keluarganya tidak akan sampai membaca blog ini, maka akan saya sebut namanya.
Namanya adalah Raja Joni, ya cukup fantastis namanya bagi saya. Saya membayangkan dia adalah sosok, ya seperti Raja. Tapi dalam hal ini tidak, karena ternyata berdasarkan dengar sana-dengar sini (bukannya saya mencuri dengar, tapi kuping ini dengan tidak sengaja menangkap pembicaraan orang-orang pada waktu itu), si Raja Joni ini adalah suami keempat dari istri tersebut, dan mau diceraikan pula (oleh si istri). Yah, Joni.. Anda sebagai Raja dari para Joni rupanya tidak mempunyai cukup wibawa untuk menjadi seorang raja.

Lagi-lagi saya tertawa dalam hati, niat ke Natuna untuk bekerja kenapa malah jadi nonton Infotainment pedesaan begini?

2. Sosial
Penginapan yang saya tempati, ternyata bersebelahan dengan lokalisasi. Hampir setiap malam ramai oleh suara karaokean orang-orang dengan suara setengah mabuk, membuat saya sering susah tidur. Menurut cerita kenalan saya, wanita-wanita penghibur di Natuna kebanyakan "buangan", mereka yang sudah tidak laku, entah dari Batam atau Pontianak (kebanyakan dari Batam). Termasuk dengan yang sering dibawa oleh pemuda kamar sebelah tersebut.

Sepanjang pengamatan saya, mereka yang bisa membangun rumah dari tembok (bata dan semen), dipandang memiliki derajat ekonomi yang lebih tinggi, bahkan tidak jarang orang-orang desa membuat rumah yang bertembok sebagai patokan. Misalnya saja ketika saya bertanya rumah bapak X, banyak yang memberi arahan rumah beton di dekat jembatan. Saya keliling kesana-kemari mencari rumah dengan dinding tembok di dekat jembatan yang dimaksud, karena tidak kunjung ketemu saya akhirnya meminta untuk diantarkan oleh salah seorang yang lewat. Akhirnya ketemu juga rumahnya, memang betul itu jembatannya dan saya melewati jembatan itu berulang kali, tapi saya tidak melihat rumah berdinding tembok. Tapi setelah diperhatikan secara seksama, ternyata rumah itu hanya sepertiga tembok, hanya sepertiga dinding bawahnya yang ditembok, sisanya dinding kayu. Oooaalaaah, begini aja dianggap rumah beton dalam hati saya. Ada juga saya temui rumah yang dinding kayu tapi memaksakan untuk terlihat rumah beton. Ya dindingnya tetap kayu, tapi luarnya dilapisi semen.
Terkadang, perbedaan rumah beton dan rumah kayu ini bisa menimbulkan kecemburuan, apalagi jika ternyata pemilik rumah beton ini adalah pendatang yang masih belum familiar, menurut cerita-cerita biasa si pemilik rumah beton ini akan sering dicibir atau malah mungkin dijahili secara mistis.

Kecemburuan lain yang terjadi adalah ketika saya mencari rumah salah satu warga penerima objek. Saya berkeliling-keliling menanyakan tiap rumah, hasilnya saya diping-pong, kalau jaraknya dekat sih tidak masalah, sebagai informasi, di dalam desa jarak antar rumah tiap RT bisa mencapai kiloan meter dengan jalan yang susah ditempuh. Ternyata setelah saya tanya satu persatu, rumah yang saya cari malah berada tepat di belakang di rumah pertama yang saya tanya (dan memping-pong saya ke rumah yang jauh disana, sebelum akhirnya saya balik lagi ke sini).
Sialnya, waktu saya ketok-ketok rumahnya si penghuni tidak kunjung keluar, padahal pintunya terbuka dan saya melihat ada sepasang telapak yang menyembul keluar dari ruang belakang. Akhirnya setelah saya bilang kami dari pemda, barulah sang penghuni keluar dan memohon maaf karena dipikirnya kami adalah tukang kredit kain yang datang untuk menagih. Sial, sudah diping-pong begitu jauh, disangka tukang kredit pula.

Natuna merupakan daerah transmigrasi pada masa orde baru. Sebagian transmigran di Natuna cukup berkembang. Banyak transmigran yang kini jadi pemilik perkebunan karet. Menurut keterangan salah satu warga transmigran (asal Madiun, Jawa Timur, ternyata satu kampung sama saya), dahulu oleh program transmigrasi, selain diberikan rumah, juga diberikan tanah dan bibit karet untuk dikembangkan. Namun ada juga program yang belum berhasil. Melihat program karet cukup berhasil, rupanya akan dikembangkan juga program kelapa sawit. Tapi sayang, program belum terlaksana, sang pemimpin orde baru sudah keburu dilengserkan. Akhirnya banyak terlihat area hutan yang dibuka namun tidak jadi ditanami apa-apa.

3. Kuliner
Hasil laut Natuna sangat kaya dan berlimpah, bahkan saking berlimpahnya, banyak kapal nelayan dari Jawa yang datang ke Natuna, bukan untuk memancing hasil ikan, tapi untuk belanja dari nelayan Natuna. Cukup praktis dan efisien menurut saya, jadi para nelayan dari jawa tidak perlu berlama-lama mencari ikan, tinggal borong saja hasil nelayan setempat. Sama-sama untung menurut saya. Ikan pun sangat murah di sini. Saking murahnya, untuk membuat krupuk ikan, sampai diperlukan 1 kilogram ikan tongkol untuk membuat 8 rol seukuran lontong normal untuk membuat mentahan krupuk (yang kemudian diiris-iris sebelum dikeringkan). Bahkan untuk pertama kalinya saya makan masakan gurita disini. Tapi hal tersebut tidak serta merta membuat makanan di sana cukup variatif. Hampir semua rumah yang saya kunjungi selalu menyuguhi saya masakan dari mie instan, entah dimasak model apapun itu. Pernah suatu ketika saya kelaparan, melihat ada tulisan warung bakso saya pun membeli bakso untuk mengganjal perut. Bukan bakso yang saya bayangkan, tetapi hanya mie instan rasa bakso, ketika saya tanya mana bakso, si pemilik warung malah tidak tahu bakso itu apa.
Pada waktu itu sedang musim duren. Sebenarnya saya tidak suka duren, tapi apa daya banyak warga yang menyuguhkan, akhirnya saya mencoba juga. Yang paling menarik adalah variasi makan duren dicampur dengan butiran sagu kering. Rasa duren yang menurut saya aneh dan bau tajam, tertutup dengan gurihnya dan renyahnya butiran sagu kering, cukup menarik juga. Sampai pada akhirnya saya masuk UGD gara-gara makan duren. Jadi ceritanya di sebuah dermaga saya ketinggalan angkot untuk kembali lagi ke kota. Jarak dari pelabuhan ke kota hampir 100km jauhnya dan tidak ada lagi kendaraan kecuali angkot yang datang 4 jam lagi. Saat itu tidak sedang ada jadwal kapal Pelni datang, jadi pelabuhan pun sangat sepi, tidak ada kendaraan charter, ataupun orang hilir mudik. Bahkan warung makanan pun tidak buka. Harapan satu-satunya saya adalah angkot tersebut. Saya pun menumpang menunggu angkot di salah satu warung. Perut saya sudah sangat lapar sebenarnya, tapi warung tersebut tidak menjual makanan apapun. Yang ada saya disuguhi duren gratis, cukup banyak. Sudah terlanjur lapar akhirnya saya pun makan duren tersebut, habis cukup banyak juga. Malam harinya, perut saya perih luar biasa, kurang lebih sekitar pukul 2 pagi saya keluar mencari pengobatan. Harapan saya tinggal puskesmas 24 jam (yang ternyata tidak buka malam itu) dan RSUD. Setelah berputar-putar dengan motor sendirian dan cukup dingin, akhirnya saya menemukan RSUD yang dimaksud.

Hal-hal lucu tersebut tidak mengurangi kekaguman saya atas keindahan alam Natuna (sebagaimana tulisan saya sebelumnya mengenai Natuna). Di TV saya suka melihat adegan burung elang menyambar ikan di laut, di Natuna hal tersebut bisa saya saksikan langsung di jendela kamar mandi penginapan yang saya tempati.
Cerita-cerita tersebut tidak menggambarkan kondisi Natuna secara umum, tapi hanya kondisi yang saya temui dan saya alami saja.

Salam

Friday, 16 November 2012

Selamat datang anakku, Mikhayla Putri Ramandita.



Pada hari Jumat lalu, 2 November 2012, datang sebuah kejadian yang tidak terlupakan seumur hidup saya dan kami (saya dan istri tentunya).  Berawal di pagi hari kurang lebih jam 04.00 pagi, istri saya membangunkan saya dengan nada agak panik. Istri saya bilang bahwa ada yang mengucur dari dalam celananya, walaupun tidak banyak. Seketika langsung saya bangun dan membangunkan ibu mertua saya.  Untung hari-hari sebelumnya saya sudah mempersiapkan peralatan-peralatan dan pakaian-pakaian dalam sebuah tas, jadi apabila sewaktu-waktu terjadi persalinan tidak bingung mencari-cari apa yang harus dibawa. Lalu kami pun bergegas menuju ke bidan terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.

Ya memang, kehidupan di desa pada umumnya apabila terjadi proses persalinan orang-orang datang ke bidan terlebih dahulu untuk mendapatkan pertolongan pertama, apabila memungkinkan maka persalinan dapat dilakukan di bidan apabila tidak maka akan di rujuk ke Rumah Sakit pilihan keluarga.

Loh, kenapa di desa? Bukankah saya selama ini tinggal di Ibu Kota? Mari kita simak sebentar sejarahnya terlebih dahulu…

Ada kondisi dimana istri saya bersikeras untuk merawat ayahnya (mertua saya). Mertua saya mengidap penyakit diabetes dan sudah beberapa kali operasi, termasuk diantara operasi mata yang diakibatkan oleh penyakit diabetes tersebut.

Kehamilan pertama istri saya ini memang penuh cobaan. Ketika hamil muda, usia kandungan sekitar 2-3 bulan, ketika usia kandungan sedang rentan-rentannya, saya harus rela meninggalkan istri saya untuk bekerja diluar kota. Untung istri saya tidak banyak ngidam yang aneh-aneh dan tidak ada kondisi yang tidak mengenakkan sehingga saya pun tidak was-was meninggalkan istri demi mencari biaya persalinan. Pernah sih satu kali ngidam untuk makan nasi bebek madura, karena kasihan tidak ada yang membelikan, kakak ipar saya pun membelikannya tapi ternyata salah, sampai akhirnya bapak saya datang belikan (ternyata malah dekat rumah).

Cobaan berikutnya datang, ketika saya sudah kembali bertemu istri, tiba-tiba penyakit malaria saya kambuh (ya, saya pergi ke daerah endemic malaria). Istri saya sangat sedih melihat penyakit malaria saya yang kambuh dan menurunkan berat badan saya hingga 6kg lebih (istri saya tidak pernah melihat saya sekurus ini).

Penyakit malaria sudah hilang, saya sudah kembali beraktivitas dan sudah mulai normal berat badannya, datang cobaan berikutnya yaitu ketika dapat kabar bahwa ayah mertua masuk Rumah Sakit. Dan akhirnya kami pun pulang ke desa. Penyakit diabetes yang di derita ayah mertua saya sudah cukup parah, dimana harus rajin untuk menyuntikkan insulin secara teratur untuk mengontrol kadar gula agar tetap di angka normal. Untungnya istri saya sudah melewati trisemester pertama kehamilan sehingga kandungannya sudah cukup kuat untuk dibawa kesana-kemari, termasuk bepergian ke Solo untuk operasi mata ayah mertua.
Selama istri merawat ayahnya di desa, saya terpaksa harus berpisah lagi dengan istri saya untuk kembali ke Ibu Kota mencari biaya persalinan. Tapi pada kenyataannya tidak sepenuhnya benar, karena sebagian tabungan persalinan saya belikan XBOX360 dan TV LCD baru, hahahahha… Hal tersebut saya lakukan untuk mengusir kebosanan, karena selama ini setiap habis jenuh bekerja saya selalu bercanda dan tertawa-tawa bersama istri. Tapi ketika istri saya sedang jauh, siapa yang mau saya ajak bercanda dan tertawa-tawa di malam hari sepulang kerja?

Ketika usia kandungan istri sudah mendekati usia melahirkan, saya pun pergi ke desa untuk menjadi suami siaga. Menjadi suami siaga kurang lebih 1 bulan sampai akhirnya pada tanggal 2 November 2012…
Baiklah, mari kita kembali ke cerita proses persalinan.

Sampai di bidan kurang lebih jam 05.00 pagi, beruntung bidannya belum berangkat dinas ke puskesmas. Sehingga bidan bisa memeriksa istri saya. Bidan memantau keadaan istri saya hingga pukul 10.00 pagi, didapati tekanan darah istri saya yang tinggi dan tak kunjung turun, selalu diangka 150-170. Bidan tidak berani untuk melanjutkan proses persalinan dan akhirnya di tunjuk ke Rumah Sakit pilihan saya dan istri (karena istri saya beberapa kali terakhir ini cocok dengan salah satu dokter kandungan yang praktek di Rumah Sakit tersebut). Dan berangkatlah kami ke Rumah Sakit tersebut. Kurang lebih pukul 10.30 sampai di Rumah Sakit, langsung masuk ruang bersalin. Kondisi istri saya pada waktu ruang bersalin sudah pembukaan 3. Oleh dokter langsung diberi 2 buah botol infuse, satu berisi cairan penurun tekanan darah dan satu lagi berisi cairan induksi. Saya dan istri memang berkeinginan untuk melahirkan normal, karena beberapa kali periksa kandungan dokter menyatakan untuk memungkinkan melahirkan normal. Dan disinilah kehebohan dimulai.

Rasa sakit luar biasa sudah mulai di derita istri saya. Istri saya menceritakan rasanya seperti mules di dalam perut dikalikan 10. Saya tidak bisa membayangkan rasa sakit yang dirasakan istri saya. Seumur hidup saya, sakit yang terhebat yang pernah saya derita adalah ketika mengidap malaria dan low back pain (saya harap di kemudian hari ga ada lagi rasa sakit yang lebih hebat dari itu), melihat rasa sakit yang diderita sang istri, saya merasa sakit hebat yang pernah saya rasakan itu tidak apa-apanya. Oleh para perawat istri saya terus diingatkan untuk mengatur nafas, tarik nafas panjang dan dikeluarkan lewat mulut. Sedikit demi sedikit pembukaan sudah di pembukaan 8. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00. Rasa mules hebat tersebut membuat istri saya hampir tidak bisa beristirahat untuk mengambil nafas panjang. Baru istirahat sekian detik untuk mengambil nafas dari rasa sakit, timbul lagi rasa mules hebat sampai beberapa menit lamanya dan begitu pula seterusnya. Saya memasrahkan tangan dan muka saya untuk di remas-remas oleh istri ketika  dia merasakan rasa sakitnya, saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya ketika rasa sakitnya tersebut mulai timbul, sempat terpikir bahwa istri saya begini juga gara-gara saya, hahahaha…

Waktu menunjukkan pukul 15.00 dokter kandungan pun sudah datang untuk mengontrol dan membantu persalinan, oleh dokter masih belum boleh untuk mengejan. Walaupun sudah beberapa kali istri saya menyerah dan ingin sekali mengejan. Namun saya selalu mengingatkan untuk jangan mengejan, ikuti arahan dokternya. Sampai akhirnya dokter memeriksa denyut jantung bayi di dalam kandungan. Di sini masalah mulai timbul, di dapati denyut jantung bayi melemah ketika induksi di stop, namun kuat kembali ketika induksi dibuka lagi. Hingga saat ini posisi bayi belum juga turun dan kepalanya masih belum terasa, apabila di vacuum pun berbahaya karena posisinya masih terlalu jauh. Karena kondisi tersebut membahayakan bagi kedua belah pihak, sang ibu dan sang bayi, maka dokter merekomendasikan untuk di cesar saja.
Istri saya sempat histeris tidak mau di cesar, saya cukup memahami rasanya tidak ikhlas kalau sudah melewati rasa sakit segitu hebatnya tapi akhirnya harus di cesar. Akhirnya keputusan cesar diambil demi keselamatan bersama. Istri saya pun masuk ruang operasi pukul 15.30.

Dan pukul 16.00 lahirlah putri kami tercinta, dengan berat 3,76kg dan panjang 52cm. Cukup besar dan sangat lucu, apalagi rambutnya yang sangat tebat (selama hamil tua istri saya sering merasakan rasa gatal dari dalam, di posisi rahim bawah, mungkin ini dari rambut bayi kami yang sangat tebal). Walaupun begitu, istri saya masih belum keluar ruang operasi sampai pukul 22.00, karena masih menunggu untuk tekanan darahnya normal dan rasa menggigilnya hilang.

Di dalam kamar rawat, istri saya cerita bahwa si perawat sempat bilang ke dokter bahwa bukaannya sudah lengkap, si dokter menjawab, ya habis bagaimana lagi. Si perawat sempat menenangkan istri sambil bilang bahwa istri saya merasakan rasanya 2 melahirkan, yaitu melahirkan normal dan melahirkan cesar. Dan ketika dibedah si dokter bilang ke istri saya bahwa penyebabnya adalah si leher bayi terlilit tali pusar sehingga menyebabkan kondisinya seperti itu. Entah kenapa kondisi terlilit tali pusar tersebut tidak terlihat ketika kami USG sebelum-sebelumnya, atau karena kami tidak pernah periksa USG 4D? Ah, tapi tidak apalah, yang penting bayi kami lahir selamat, sehat dan istri saya selamat dan sehat juga. Segala rasa sakit yang dialami istri dan kecemasan saya selama proses persalinan terobati sudah dengan lahirnya putri kami yang lucu dan sehat.



Nama, bagi sebagian besar orang, nama adalah Doa orang tua bagi si anak. Begitu juga kami, nama lengkap dan nama panggilan anak kami adalah doa kami yang kelak akan mengiringinya seumur hidupnya. Namanya adalah Mikhayla Putri Ramandita. Mikhayla menurut referensi-referensi yang saya baca berarti Anugrah Tuhan, bisa juga berarti Malaikat. Tentu saja, anak mungil kami adalah anugrah Tuhan yang selama ini kami tunggu dan juga malaikat kecil bagi kami. Putri Ramandita, yang berarti sang putri (yang cantik) dari keluarga Ramandita. Kami memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan “Lala”. Kenapa Lala? Karena kami ingin memanggil dia sambil bernyanyi riang gembira. Ketika orang-orang bersenandung atau bernyanyi gembira, pada umumnya mereka menyanyikan Lalalalalalala… Kami berdoa agar kelak apapun kondisinya anak kami selalu dalam kondisi bahagia dan riang gembira, sesuai dengan nama panggilannya.. 

Lalalalalalalala…

Ucapan selamat berdatangan dari berbagai media, mulai langsung dan paling banyak melalui media social. Ada satu ucapan selamat yang paling berkesan dan memotivasi saya. “Semoga sukses mendidiknya bro..” Sederhana namun memiliki pesan tanggung jawab yang luar biasa besar kelak.
Cepat besar dan sehat selalu putriku sayang…

Riang gembiralah selalu..

Lalalalalalalalalala…