Sebelumnya, saya akan ceritakan bagaimana saya berangkatnya terlebih dahulu.
Sudah lama saya tidak mengunjungi lokasi ini dikarenakan kesibukan dan hal lainnya. Akhirnya setelah bertemu dengan sang klien, timbul kewajiban untuk mengunjunginya. Pada hari Sabtu kemarin (24 November 2012) saya memutuskan berangkat ke Banjarmasin menggunakan pesawat Citilink. Kenapa Citilink? Karena pada waktu itu hanya pesawat ini yang termurah, pelit ya? hahahahah... Pesawat dijadwalkan berangkat jam 12.35 dari Jakarta dan sampai kurang lebih jam 15.30 waktu lokal, estimasi perjalanan darat lanjutan menggunakan taxi 3-4 jam, maka saya akan sampai kurang lebih jam 18-19 di camp.
Jika menurut orang beriman ada slogan: "Manusia berencana, Tuhan yang menentukan", maka sebagai orang yang kurang beriman slogan tersebut saya modifikasi sedikit: "Manusia berencana, manusia lain yang menentukan". Dan hal tersebut menimpa saya, menurut perhitungan pada umumnya hari sabtu itu lebih macet daripada hari-hari sebelumnya, terlebih malam sebelumnya Jakarta dilanda banjir di sebagian besar wilayahnya. Antisipasi macet dan sisa banjir semalam, maka saya berangkat jam 8 pagi dari rumah orang tua saya di Taman Mini. Ternyata antisipasi saya salah, perjalanan dari Taman Mini ke Bandara hanya memakan waktu 1 jam (dari waktu perkiraan 2 jam). Nah, di sinilah penderitaan akibat manusia lain yang menentukan dimulai, tiba-tiba sekitar jam 10 saya mendapat sms dari maskapai bahwa penerbangan dirubah jadwalnya hingga pukul 14.20. Wah, telat 2 jam batin saya. Beruntung saya membawa laptop dan sebuah smartphone yang bisa di tether, jadi menunggu 2 jam tidak membosankan karena sambil chatting dengan istri. Lebih dari 14.30 tidak ada kabar bahwa pesawat siap berangkat, penumpang lain sudah mulai resah, termasuk saya yang sudah mulai kehabisan batere laptop dan smartphone. Kompensasi berupa makanan berat sudah didatangkan dan para penumpang sudah terlihat tenang dengan santapannya masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 tapi tidak ada tanda-tanda pesawat tiba. Penumpang yang tadinya gelisah sudah pada mulai marah. Entah kenapa tiba-tiba terbentuk suatu solidaritas spontan, untuk menuntut kompensasi tunai sebesar Rp. 300.000 (sudah menjadi kewajiban maskapai apabila terlambat lebih dari 4 jam selain karena faktor cuaca, maskapai wajib mengganti rugi sebesar Rp.300.000). Sambil menunggu saya membaca berita terkait keterlambatan citilink di kompas.com. Penumpang Surabaya menuju Jakarta sehari sebelumnya yang terjebak keterlambatan hingga 12 jam lebih malah mendapat kompensasi sebesar Rp. 1.000.000 yang diberi langsung oleh salah satu pimpinan perusahaan. Tidak seperti penumpang lain yang ingin segera diterbangkan, (bahkan ada yang ganti pesawat) saya pribadi malah berharap keterlambatannya sampai besok pagi dan mendapat kompensasi Rp. 1.000.000. Daripada mendapat Rp. 300.000 tapi saya terdampar malam-malam dan tidak ada kendaraan (taxi) untuk melanjutkan perjalanan.
Lagi-lagi itu hanya harapan, karena toh manusia lain juga yang sudah menentukan. Akhirnya setelah jam 18.00 pesawatnya pun tiba dan siap diberangkatkan. Kurang lebih hampir jam 19.00 pesawat diberangkatkan dan sampai di Banjarmasin sekitar jam 21.00 lebih. Setelah mengajukan klaim ke counter citilink, saya bermaksud untuk menginap di masjid bandara saja, karena tidak ada ruang tunggu yang bisa digunakan untuk beristirahat. Tetapi dengan pintu masjid ditutup, saya hanya bisa menggunakan teras sebagai tempat istirahat. Dengan banyaknya orang (terutama perantauan) di teras masjid dan tas yang berisi laptop yang sangat berharga isinya, beristirahat di masjid tidak menjadi pilihan yang bijaksana. Sempat mondar-mandir untuk mencari tempat istirahat yang pas, sampai akhirnya bertemu dengan penumpang lain yang tadi satu pesawat. Dia menyarankan untuk mencari penginapan saja, banyak di sekitar bandara katanya, tinggal tanya tukang ojek. Akhirnya saya ke pangkalan ojek depan bandara dan bertanya penginapan termurah yang dekat. Terjadi sebuah interaksi yang agak menjengkelkan menurut saya:
Galih: "Bang, penginapan yang murah-murah di sekitar sini di mana?"
Ojek: "Oh iya ada, yuk saya antar?:
Galih: (setengah meniru logat setempat) "Jauh kah bang?"
Ojek: "Oh jauh, ongkosnya sepuluh ribu"
Galih: (karena sudah malam dan sudah sangat ingin istirahat) "ya udah"
Berangkatlah kami menuju penginapan yang dimaksud. Eeeeeh, baru masuk gigi tiga tidak tahunya sudah sampai.
Penginapan seharga Rp. 100.000, walaupun hanya menggunakan kipas angin tapi cukup bersih, sehingga cukup nyaman untuk ditempati. Keesokan harinya saya berangkat ke camp dengan menggunakan taxi di pangkalan. Hal baru yang saya ketahui bahwa terdapat perbedaan harga dilihat dari tempat duduknya. Jika duduk di depan, sebelah supir maka ongkosnya Rp. 40.000 tetapi jika deretan tengah dan belakang maka ongkosnya Rp. 35.000.
Akhirnya sampai juga di camp. Keesokan harinya saya mendapatkan tawaran untuk ikut jalan-jalan ke lokasi Workshop yang bersebelahan dengan lokasi penggalian. Wah, asyik.. Bisa melihat kendaraan-kendaraan HD (Heavy Duty) nih, batin saya. Langsung saja saya ambil kamera dan langsung menuju ke dalam mobil tumpangan.
Lokasinya tidak jauh dari camp tempat saya menginap. Jalan menuju ke lokasi cukup besar tapi agak kurang mulus. Sepanjang perjalanan hanya terlihat bekas galian yang sudah menjadi danau, kata supir yang mengajak saya, danau tersebut cukup dalam, bahkan konon katanya ada buayanya dan banyak ular-ular berukuran besar.
Sepanjang perjalanan banyak terlihat bekas kerukan-kerukan tanah yang ditinggal begitu saja. Memang terlihat ada sedikit area hijau dengan papan tulisan area revegetasi. Tetapi tidak sebanding dengan luas area yang telah dieksploitasi sebelumnya.
Oke kembali ke lokasi. Yang membuat saya senang adalah saya melihat langsung truk-truk HD yang berukuran besar dan traktor yang berukuran lebih besar pula dengan jarak hanya beberapa meter saja.
Sebuah pemandangan yang menyenangkan sekaligus menegangkan bagi saya. Ya menegangkan apabila mereka berjalan dekat-dekat dengan kita. Sebagai penggemar film Transformer, Saya membayangkan apabila All Spark dari film tersebut jatuh di sekitar daerah ini. Tidak terbayang seberapa raksasanya robot itu jadinya.
Sudah cukup berjalan-jalannya saatnya kembali lagi ke Jakarta. Saya pun kembali menuju bandara Banjarmasin dengan menggunakan taxi. Apabila anda berangkat yang kebetulan bertepatan dengan waktu jam makan siang dan anda dikejar waktu, maka lebih baik anda mencharter mobil, karena bisa saja si supir tiba-tiba berhenti di suatu tempat makan pilihannya dia sendiri, seperti yang saya alami kemarin. Baru berjalan beberapa kilometer, bahkan belum keluar dari wilayah kecamatan, tiba-tiba si supir berhenti di sebuah tempat makan. Padahal belum juga waktu makan siang, masih jam 10.45 waktu itu. Ya sudah, karena perjalanan juga makan waktu lama, tidak ada salahnya juga untuk membeli makanan daripada di perjalanan dengan perut kosong. Ada beberapa titik rumah makan yang menjadi pilihan grup supir taxi, sepertinya telah terjadi simbiosis mutulisme antara supir taxi dan pemilik rumah makan.
Sesampainya di Bandara saya sempat berharap agar pesawatnya terlambat lagi sampai 4 jam atau kalau perlu sampai besok, supaya dapat kompensasi lagi, hahahaha... Tapi ternyata pesawatnya datang dan berangkat tepat waktu. Sepanjang perjalanan di udara, cuaca cukup cerah sehingga saya bisa berkesempatan sama dengan orang-orang lain yang memfoto sayap pesawat, terlebih lagi cuaca sedang cerah.
Dan foto gedung-gedung Jakarta, terutama gedung perkantoran di wilayah Sudirman-Thamrin serta Monas yang terlihat sangat kecil dari atas langit.
Saya tidak terlalu banyak mengeksplorasi bagian-bagian bandara Soekarno Hatta, tapi diantara semua bagian Bandara tersebut, saya paling suka Fly Over khusus pesawat (sayangnya saya berada di posisi duduk yang salah sehingga foto tidak terlalu menggambarkan fly over tersebut).
Akhirnya saya pun tiba kembali di Jakarta dengan selamat.
Demikian cerita tambahan saya mengenai perjalanan saya di salah satu daerah tambang di Kalimantan Selatan.
Salam