Setelah saya membaca ulang tulisan-tulisan saya terdahulu, terutama tulisan perjalanan ke Natuna II, rasanya kok masih ada yang kurang. Masih kurang menjelaskan kegiatan-kegiatan dan interaksi-interaksi yang terjadi selama saya di sana.
Mumpung saya masih ingat dan masih ada waktu luang untuk menceritakannya maka lebih baik saya tulis saja daripada nanti lupa.
Selama saya di Natuna kurang lebih 1 bulan, banyak terdapat cerita-cerita (yang menurut saya) lucu dan menarik. Mulai dari hal yang berhubungan dengan masalah pribadi, rumah tangga, sosial, kuliner, dan hal-hal menarik lainnya.
1. Hal Pribadi dan masalah rumah tangga.
Ketika saya tiba di Natuna, saya langsung meminta kenalan saya di sana untuk dicarikan penginapan yang murah. Maklum, dana dari kantor (pada waktu itu) sangatlah minim dan saya tidak tahu daerah sana. Jadi saya pasrah saja oleh beliau dicarikan dimana. Maka setelah tim kami (yang berjumlah 6 orang) tiba di bandara, langsung kami diantar ke sebuah penginapan yang terletak di tepi pantai. Penginapan dengan bentuk rumah panggung tingkat yang terbuat dari kayu, yang berdiri diatas pantai. Agak kumuh sebenarnya, tapi ya demi menghemat supaya kami tidak kehabisan ongkos selama di sana. Penginapannya terdapat di lantai atas, dengan (kalau tidak salah ingat) 6 kamar dan 2 kamar mandi luar.
Kamarnya pun tidak besar, dengan ukuran kurang dari 3x4 meter dan diisi oleh 6 orang termasuk barang bawaan dan perkakas kerja, tapi kondisi tersebut tidak lama, karena sebagian besar tim akan terpencar-pencar ke wilayah lain di kabupaten Natuna.
Setelah beberapa hari tinggal di penginapan tersebut saya jadi tahu bahwa si ibu pemilik penginapan ini ternyata merupakan istri simpanan dari kenalan saya. Hal tersebut saya ketahui karena kenalan saya ini hampir setiap hari datang berkunjung, lalu berakhir ke sebuah kamar. Saya tidak ingin mencari tahu sebenarnya, bahkan saya tidak mau tahu, karena itu bukan urusan saya. Tapi namanya interaksi, pasti terjadi basa-basi sambil ngobrol ketika beli makan di tempatnya (si ibu ini juga pemilik warung makan di lantai bawah), si ibu ini bercerita bahwa sebenernya dia adalah istri simpanan dari kenalan saya. Si bapak kenalan saya ini sebenarnya sudah punya istri dan anak yang sedang kuliah di kampung halamannya. Dalam hati saya berkata: "woooh, pantesan aja si bapak ini getol banget ngarahin kami ke sini, padahal harusnya masih ada tempat lain".
Selain itu, si ibu ini punya seorang pembantu yang sedang hamil tua, ditinggal kabur suaminya kata si ibu ini. Kenapa saya harus tahu hal-hal yang seperti ini sih, gumam saya dalam hati. Secara kebetulan tepat di hari ulang tahun saya, pembantu si ibu ini terlihat gejala akan melahirkan. Saya pun diminta tolong untuk menjemput bidan. Saya pun bergegas naik motor menjemput bidan yang dimaksud, mana sudah larut malam pula, dengan jarak yang lumayan jauh, plus masih harus mengantar pulang kembali bidan tersebut. Niat awal berangkat ke Natuna untuk bekerja mencari uang, malah ikut membantu orang melahirkan, batin saya. Tapi tidak apa-apalah, saya jadi punya teman yang berulang tahun di tanggal yang sama, sekaligus ikut membantu meringankan beban orang.
Hal yang paling menarik dari penginapan ini adalah, rumah ini gampang bergoyang. Diperparah dengan kelakuan tetangga kamar sebelah. Rupanya tetangga kamar sebelah adalah seorang pemuda Jakarta yang sedang merantau dan mencoba mengadu nasib untuk berbisnis di Natuna. Sama seperti kami, dia pun mencari penginapan termurah untuk mengurangi biaya hidup. Rupanya waktu berjalan, pemuda ini kepincut dengan gadis penghibur lokal (cerita ini akan saya bahas di bawah) dan sering dibawa "ngamar" ke kamarnya. Nah, ketika aksi itu terjadi, ikut bergoyanglah seluruh bangunan ini. Lucunya, karena dinding sekat kamar hanya terbuat dari triplek, maka apa yang mereka lakukan kadang sampai terdengar di kamar kami, hahahaha...
Hal lucu lainnya adalah ketika saya dan sebagian tim saya datang ke salah satu desa yang cukup jauh dari penginapan kami. Objek pekerjaan kami adalah sebuah infrastruktur milik pemda yang dipinjamkan kepada para penduduk terpilih. Kami sebagai pelaksana otomatis hanya melakukan pekerjaan sebatas dengan daftar nama yang kami terima. Rupanya, ada salah satu penerima yang sedang dalam proses cerai, lucunya lagi si istri mengganggap bahwa objek ini merupakan bagian dari harta gono-gini dan minta untuk dibagi. Masalah ini cukup alot, bahkan sampai orang pemda datang ke desa tersebut untuk membicarakan hal tersebut bersama yang bersangkutan dan kepala desa. Tidak sopan memang menaruh nama asli yang bersangkutan dalam cerita saya ini, tapi cerita ini akan tidak seru dan tidak lengkap kalau nama yang bersangkutan itu tidak saya cantumkan. Dengan asumsi bahwa yang bersangkutan dan kawan-kawannya atau keluarganya tidak akan sampai membaca blog ini, maka akan saya sebut namanya.
Namanya adalah Raja Joni, ya cukup fantastis namanya bagi saya. Saya membayangkan dia adalah sosok, ya seperti Raja. Tapi dalam hal ini tidak, karena ternyata berdasarkan dengar sana-dengar sini (bukannya saya mencuri dengar, tapi kuping ini dengan tidak sengaja menangkap pembicaraan orang-orang pada waktu itu), si Raja Joni ini adalah suami keempat dari istri tersebut, dan mau diceraikan pula (oleh si istri). Yah, Joni.. Anda sebagai Raja dari para Joni rupanya tidak mempunyai cukup wibawa untuk menjadi seorang raja.
Lagi-lagi saya tertawa dalam hati, niat ke Natuna untuk bekerja kenapa malah jadi nonton Infotainment pedesaan begini?
2. Sosial
Penginapan yang saya tempati, ternyata bersebelahan dengan lokalisasi. Hampir setiap malam ramai oleh suara karaokean orang-orang dengan suara setengah mabuk, membuat saya sering susah tidur. Menurut cerita kenalan saya, wanita-wanita penghibur di Natuna kebanyakan "buangan", mereka yang sudah tidak laku, entah dari Batam atau Pontianak (kebanyakan dari Batam). Termasuk dengan yang sering dibawa oleh pemuda kamar sebelah tersebut.
Sepanjang pengamatan saya, mereka yang bisa membangun rumah dari tembok (bata dan semen), dipandang memiliki derajat ekonomi yang lebih tinggi, bahkan tidak jarang orang-orang desa membuat rumah yang bertembok sebagai patokan. Misalnya saja ketika saya bertanya rumah bapak X, banyak yang memberi arahan rumah beton di dekat jembatan. Saya keliling kesana-kemari mencari rumah dengan dinding tembok di dekat jembatan yang dimaksud, karena tidak kunjung ketemu saya akhirnya meminta untuk diantarkan oleh salah seorang yang lewat. Akhirnya ketemu juga rumahnya, memang betul itu jembatannya dan saya melewati jembatan itu berulang kali, tapi saya tidak melihat rumah berdinding tembok. Tapi setelah diperhatikan secara seksama, ternyata rumah itu hanya sepertiga tembok, hanya sepertiga dinding bawahnya yang ditembok, sisanya dinding kayu. Oooaalaaah, begini aja dianggap rumah beton dalam hati saya. Ada juga saya temui rumah yang dinding kayu tapi memaksakan untuk terlihat rumah beton. Ya dindingnya tetap kayu, tapi luarnya dilapisi semen.
Terkadang, perbedaan rumah beton dan rumah kayu ini bisa menimbulkan kecemburuan, apalagi jika ternyata pemilik rumah beton ini adalah pendatang yang masih belum familiar, menurut cerita-cerita biasa si pemilik rumah beton ini akan sering dicibir atau malah mungkin dijahili secara mistis.
Kecemburuan lain yang terjadi adalah ketika saya mencari rumah salah satu warga penerima objek. Saya berkeliling-keliling menanyakan tiap rumah, hasilnya saya diping-pong, kalau jaraknya dekat sih tidak masalah, sebagai informasi, di dalam desa jarak antar rumah tiap RT bisa mencapai kiloan meter dengan jalan yang susah ditempuh. Ternyata setelah saya tanya satu persatu, rumah yang saya cari malah berada tepat di belakang di rumah pertama yang saya tanya (dan memping-pong saya ke rumah yang jauh disana, sebelum akhirnya saya balik lagi ke sini).
Sialnya, waktu saya ketok-ketok rumahnya si penghuni tidak kunjung keluar, padahal pintunya terbuka dan saya melihat ada sepasang telapak yang menyembul keluar dari ruang belakang. Akhirnya setelah saya bilang kami dari pemda, barulah sang penghuni keluar dan memohon maaf karena dipikirnya kami adalah tukang kredit kain yang datang untuk menagih. Sial, sudah diping-pong begitu jauh, disangka tukang kredit pula.
Natuna merupakan daerah transmigrasi pada masa orde baru. Sebagian transmigran di Natuna cukup berkembang. Banyak transmigran yang kini jadi pemilik perkebunan karet. Menurut keterangan salah satu warga transmigran (asal Madiun, Jawa Timur, ternyata satu kampung sama saya), dahulu oleh program transmigrasi, selain diberikan rumah, juga diberikan tanah dan bibit karet untuk dikembangkan. Namun ada juga program yang belum berhasil. Melihat program karet cukup berhasil, rupanya akan dikembangkan juga program kelapa sawit. Tapi sayang, program belum terlaksana, sang pemimpin orde baru sudah keburu dilengserkan. Akhirnya banyak terlihat area hutan yang dibuka namun tidak jadi ditanami apa-apa.
3. Kuliner
Hasil laut Natuna sangat kaya dan berlimpah, bahkan saking berlimpahnya, banyak kapal nelayan dari Jawa yang datang ke Natuna, bukan untuk memancing hasil ikan, tapi untuk belanja dari nelayan Natuna. Cukup praktis dan efisien menurut saya, jadi para nelayan dari jawa tidak perlu berlama-lama mencari ikan, tinggal borong saja hasil nelayan setempat. Sama-sama untung menurut saya. Ikan pun sangat murah di sini. Saking murahnya, untuk membuat krupuk ikan, sampai diperlukan 1 kilogram ikan tongkol untuk membuat 8 rol seukuran lontong normal untuk membuat mentahan krupuk (yang kemudian diiris-iris sebelum dikeringkan). Bahkan untuk pertama kalinya saya makan masakan gurita disini. Tapi hal tersebut tidak serta merta membuat makanan di sana cukup variatif. Hampir semua rumah yang saya kunjungi selalu menyuguhi saya masakan dari mie instan, entah dimasak model apapun itu. Pernah suatu ketika saya kelaparan, melihat ada tulisan warung bakso saya pun membeli bakso untuk mengganjal perut. Bukan bakso yang saya bayangkan, tetapi hanya mie instan rasa bakso, ketika saya tanya mana bakso, si pemilik warung malah tidak tahu bakso itu apa.
Pada waktu itu sedang musim duren. Sebenarnya saya tidak suka duren, tapi apa daya banyak warga yang menyuguhkan, akhirnya saya mencoba juga. Yang paling menarik adalah variasi makan duren dicampur dengan butiran sagu kering. Rasa duren yang menurut saya aneh dan bau tajam, tertutup dengan gurihnya dan renyahnya butiran sagu kering, cukup menarik juga. Sampai pada akhirnya saya masuk UGD gara-gara makan duren. Jadi ceritanya di sebuah dermaga saya ketinggalan angkot untuk kembali lagi ke kota. Jarak dari pelabuhan ke kota hampir 100km jauhnya dan tidak ada lagi kendaraan kecuali angkot yang datang 4 jam lagi. Saat itu tidak sedang ada jadwal kapal Pelni datang, jadi pelabuhan pun sangat sepi, tidak ada kendaraan charter, ataupun orang hilir mudik. Bahkan warung makanan pun tidak buka. Harapan satu-satunya saya adalah angkot tersebut. Saya pun menumpang menunggu angkot di salah satu warung. Perut saya sudah sangat lapar sebenarnya, tapi warung tersebut tidak menjual makanan apapun. Yang ada saya disuguhi duren gratis, cukup banyak. Sudah terlanjur lapar akhirnya saya pun makan duren tersebut, habis cukup banyak juga. Malam harinya, perut saya perih luar biasa, kurang lebih sekitar pukul 2 pagi saya keluar mencari pengobatan. Harapan saya tinggal puskesmas 24 jam (yang ternyata tidak buka malam itu) dan RSUD. Setelah berputar-putar dengan motor sendirian dan cukup dingin, akhirnya saya menemukan RSUD yang dimaksud.
Hal-hal lucu tersebut tidak mengurangi kekaguman saya atas keindahan alam Natuna (sebagaimana tulisan saya sebelumnya mengenai Natuna). Di TV saya suka melihat adegan burung elang menyambar ikan di laut, di Natuna hal tersebut bisa saya saksikan langsung di jendela kamar mandi penginapan yang saya tempati.
Cerita-cerita tersebut tidak menggambarkan kondisi Natuna secara umum, tapi hanya kondisi yang saya temui dan saya alami saja.
Salam
No comments:
Post a Comment