Apa yang ada di benak saya rupanya ada benarnya juga, setidaknya itu yang terjadi ketika saya mengurus KTP di 3 kelurahan yang berbeda di DKI Jakarta.
Baiklah begini ceritanya.
Pada awalnya KTP saya terdaftar di salah satu kelurahan di kecamatan Makasar Jakarta Timur, oleh karena hal-hal pekerjaan yang tidak bisa saya jelaskan di sini, saya terpaksa memindah KTP di salah satu kelurahan di daerah Kecamatan Kebayoran Lama.
Proses pemindahan KTP dari kelurahan lama ke kelurahan baru tidak terlalu ribet. Di kelurahan lama saya hanya ditarik biaya administrasi Rp. 15.000. Biaya yang lebih besar timbul ketika saya mengurus KTP dan KK di kelurahan baru, dengan alasan mempercepat yang normalnya 2 minggu tapi pegawai kelurahan tersebut bisa keluar dalam 2 hari, saya harus merogoh kocek hingga Rp. 100.000.
Padahal di setiap jendela loket pelayanan ada poster pengurusan KTP Rp. 0 alias gratis. Saya mencoba mencari referensi di internet mengenai dasar hukumnya,
Perlu disampaikan mengenai retribusi dapat dilihat diloket pelayanan kependudukan diman terteran tretribusi sesuai perda No. 1 tahun 2006 Pengurusan KTP gratis atu Rp. 0,-, KK Rp. 3.000,- namun jika terlambat pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil Rp. 10.000,-, Surat keterangan pendaftaran penduduk Rp. 5.000,-. Sumber: http://dki.kependudukancapil.go.id/index.php/forum/2-kependudukan/7816-tarif-pembuatan-kk-a-ktp-warga-pindahan-dr-daerah
Ah sudahlah, daripada lama dan urusan pekerjaan yang sudah mendesak maka terpaksa mengikhlaskan Rp. 100.000 itu, (ikhlas kok terpaksa?)
Hari demi hari berlalu, sampai akhirnya saya menikah. Selama menikah saya dan istri juga tidak segera membuat KTP dan KK baru, alias masih KTP dan KK masing-masing. Ya karena kesibukan pekerjaan dan saya malas berurusan lagi dengan orang-orang kelurahan.
Dan tiba saatnya ketika saya sudah mempunyai anak, lalu SIM juga mati dan harus segera membayar pajak kendaraan (SIM dan Pajak Kendaraan masih memakai domisili lama). Maka mau tidak mau saya harus meluangkan waktu untuk berurusan lagi dengan pihak kelurahan. Hal pertama yang saya lakukan adalah mengurus surat pindah dan mencabut KTP saya di salah satu kelurahan di Kebayoran Lama. Perlu diketahui, berurusan dengan kelurahan jarang yang bisa selesai dalam 1 atau 2 hari. Hal pertama yang harus dilakukan sebelum ke kelurahan adalah mengurus surat pengantar di RT atau RW. Nah karena domisili KTP saya kebetulan bertempat di salah satu lokasi elit (tidak bermaksud pamer, tapi saya hanya nebeng KK di domisili Budhe saya yang kebetulan tinggal di sana), maka sudah bisa dipastikan bahwa pengurus RT dan RW-nya adalah orang-orang sibuk yang hanya punya waktu di malam hari saja. Untuk saat ini saya tinggal di kawasan Bintaro Tangerang Selatan harus merelakan waktu di malam hari untuk bertemu RT di malam hari dan kembali keesokan harinya untuk mengambil surat pengatar tersebut.
Surat pengantar RT-RW sudah dibuat, kini saatnya datang ke kelurahan. Pada hari pertama saya datang, pegawai kelurahannya bilang bahwa kantor kelurahan sedang mati lampu, jadi tidak bisa dikerjakan. Duh, kantor pelayanan publik macam apa yang tidak punya genset, padahal dekat dengan perumahan Elit dan banyak perkantoran di sekitarnya. Akhirnya dokumen-dokumen tersebut saya tinggal saja dan saya kembali lagi beberapa hari kemudian(kalau tidak salah ingat 3 hari berikutnya). Waktu kembali lagi ke kantor lurah beberapa hari kemudian, dokumen perpindahan KTP saya sudah jadi dan siap di proses di domisili kelurahan asal. Lagi-lagi pegawai kelurahan tersebut meminta biaya administrasi sebesar Rp. 10.000. Ya ya ya.. lagi-lagi biaya mengurus KTP gratis hanya wacana belaka.
Dalam hal apapun saya terbiasa melakukan pekerjaan secara paralel, jadi diharapkan 2 atau lebih pekerjaan dapat selesai dalam sekali jalan. Namun hal tersebut tidak bisa terjadi ketika saya mengurus pindah KTP untuk istri saya. Ya KTP baru diperlukan bagi kami untuk mengurus KK kami dan akhirnya dapat digunakan mengurus akta kelahiran anak kami.
Saya sengaja untuk tidak langsung memproses KTP saya di kelurahan baru, menunggu dokumen pindah KTP untuk istri saya, supaya saya bisa melakukan proses tanpa harus bolak-balik. Tapi lagi-lagi manusia berencana manusia lain yang menentukan.
Domisili KTP lama istri saya berada di salah satu kelurahan di Kecamatan Cipayung Jakarta Timur. Sama halnya dengan waktu saya mengurus pindah KTP. Mengurus KTP untuk istri saya juga tidak bisa dilakukan dalam sehari. Hari pertama saya mengunjungi RT ternyata RTnya tidak ada di rumah, padahal perjalanan Bintaro-Cipayung bukanlah perjalanan yang sebentar dan harus pulang dengan tangan kosong. Oleh karena istri punya keponakan dan teman di lingkungan RT tersebut, maka istri saya minta tolong untuk diuruskan ke RT baru nanti setelah keluar surat pengantarnya saya proses ke kelurahan.
Seminggu berselang, dokumen yang dimaksud sudah jadi dan saya pun berangkat pagi ke Cipayung dahulu untuk mengurus di kelurahan domisili KTP istri saya. Sengaja saya tidak proses KTP saya dulu supaya saya bisa berbarengan mengurusnya. Namun harapan tinggal harapan, ketika sampai di kantor kelurahan tersebut, memang dokumen di proses, tapi tidak lama kemudian ibu-ibu pegawai kelurahan ini keluar dan bilang bahwa dokumennya masih belum bisa diurus karena kehabisan Tinta dan belum tahu datangnya kapan dari dinas.
Sebuah alasan yang tidak hanya membuat saya tepok jidat, tapi juga membuat saya rela untuk mengirimkan kordinat jidat saya kepada kapal perang peluncur rudal tomahawk untuk di tepokkan di jidat saya.
Bagaimana mungkin sebuah kantor pelayanan publik bisa beralasan Kehabisan Tinta, apakah di ruang lain kantor tersebut juga kehabisan tinta? Atau disekitar situ ga ada yang jual tinta?
Dengan rasa dongkol akhirnya saya tinggalkan kantor lurah tersebut dan langsung menuju kantor lurah di kecamatan Makasar untuk mengurus KTP saya saja. Setibanya di kantor lurah tersebut saya langsung mengurus KTP saya tidak pakai lama, karena kebetulan operator komputernya masih muda dan tidak kolot. Selesai ambil foto dan tetek-bengek lainnya, saya bertaya apakah saya bisa dibantu untuk memindah data istri saya di keluarahan lama ke kelurahan sini, sebab tadi saya sudah ke sana dan kehabisan tinta katanya. Petugas tersebut menjawab, bisa dibantu asal di sistem sudah dimasukkan, kalau memang alasannya kehabisan tinta, karena sekarang sudah online dimana-mana. Dan saya meminta tolong untuk dicek di sistemnya, apabila hanya karena kehabisan tinta, seharusnya secara sistem sudah masuk.
Dan ternyata apa yang terjadi sebaliknya, di sistem masih "nyangkut" di kelurahan lama, berarti di kelurahan lama sama sekali tidak dikerjakan. Baiklah, saya sudah mengirimkan kordinat jidat saya, saya butuh kiriman rudal tomahawk sekarang juga untuk menepok jidat saya. Karena menepok jidat hanya pakai telapak tangan tidaklah cukup.
Beberapa hari berlalu, saya kembali menyempatkan ke keluraha lama istri saya hanya untuk sekedar "mencetak". Setelah sampai di kelurahan payah tersebut, akhirnya dokumen perpindahan untuk KTP istri saya bisa dicetak. Tidak hanya di situ, ibu-ibu pegawai kelurahan yang payah tersebut meminta biaya administrasi sebesar Rp. 15.000. Ya saya rasa setiap pegawai kelurahan punya standar berbeda untuk menentukan tarif "administrasi" padahal pekerjaan tersebut sama saja. Baiklah, kali ini saya meminta rudal tomahawk untuk dikirim ke kelurahan ini saja, karena 2 rudal tomahawk sudah cukup untuk menepok jidat saya kemarin-kemarin. Tanpa berfikir lama, saya pun langsung ke kelurahan baru untuk mengurus dahulu data-data untuk istri saya, jadi nanti istri saya datang tinggal foto saja.
Dokumen sudah dipegang, rencana sudah siap. Saya terpaksa pulang lebih awal dari tempat usaha saya, karena saya dan istri ingin menginap di rumah orang tua saya, supaya dapat mengurus lebih pagi dan lebih cepat. Apalagi kami membawa bayi mungil kami, perjalanan tergesa-gesa di pagi berbarengan dengan orang-orang berangkat kerja tentu tidak bijaksana.
Lagi-lagi rencana tinggal rencana. Saya dan istri sudah datang dari pukul 8 pagi. Dengan membawa serta bayi kami yang masih berumur 2 bulan. Bayi kami terpaksa kami ikut sertakan karena dia sangat tidak bisa lepas dari ibunya, tentu saja, hal ini berlaku juga buat bayi lain bukan? Namun lagi-lagi rencana tinggal rencana, sampai di kantor kelurahan mendapati ruang pelayanan KTP masih kosong. Sampai-sampai wakil lurahnya turun langsung untuk menenangkan para penduduk yang ingin mengurus KTP. Petugasnya ditelpon oleh wakil lurah, namun baru datang jam 10 kurang. Benar-benar suatu etos kerja yang luar biasa. Sialnya, si operator komputer ini tidak ada yang datang, yang satu izin sakit, yang satu lagi pulang kampung karena ada sodaranya yang meninggal. Namun kesialan tersebut bertambah berkali-kali lipat ketika ternyata tidak ada pegawai lain yang tidak mengoperasikan komputer. Termasuk si bapak yang baru datang jam 10 tersebut dan si wakil lurahnya, bahkan seorang petugas lain (yang tidak jelas statusnya pegawai kelurahan atau bukan tapi mondar-mandir di dalam tidak membantu) ketika ditanya bisa mengoperasikan komputer atau tidak dia jawab tidak bisa.
Saya terakhir mendengar seseorang yang bekerja kantoran tapi tidak bisa komputer itu kurang lebih belasan tahun yang lalu, ketika saya masih bersekolah pakai celana pendek. Dan saya merasa terjebak di dimensi waktu lampau ketika mendengar kalimat tidak bisa komputer.
Saya sampai memohon kepada pegawai tersebut bahwa kami membawa bayi dan sudah jauh-jauh dari Bintaro meninggalkan pekerjaan juga untuk sekedar mengurus KTP. Namun si pegawai tersebut bersikukuh dia tidak bisa melakukannya karena yang bisa hanya operatornya tersebut. Bahkan saya sampai bilang, "Pak saya mahir komputer, saya bisa membantu bapak asalkan operator tersebut bersedia untuk membimbing saya". Tapi ya apa daya, rupaya model kerja Remote System belum dikenal di kelurahan, mungkin baru akan dikenal di kelurahan ketika para robot dari Film Terminator atau Matrix sudah ada. Si pegawai tersebut meminta nomor telpon saya, dia mengatakan lusa mudah-mudahan dapat diproses dan akan menghubungi saya ketika sudah bisa diproses. Hari sudah berjalan hampir 6 hari dari kejadian tersebut dan sampai blog ini ditulis belum ada kabar-kabar apapun dari pegawai tersebut.
Ya kali ini saya tidak akan mengirim rudal tomahawk untuk menepok jidat saya, tapi saya akan coba menghubungi pihak Korea Utara untuk mengirimkan rudal nuklir terkuatnya untuk menepok jidat saya.
Sebuah usaha yang menghabiskan waktu, energi dan biaya untuk sekedar berurusan dengan pihak kelurahan. Mungkin bagi sebagian orang yang bekerja sebagai karyawan akan kehilangan beberapa puluh ribu uang makan, ya seapes-apesnya diomelin bos. Namun bagi serabutan tidak jelas seperti saya, meninggalkan pekerjaan dalam 1 hari berarti kehilangan omzet dalam 1 hari, kehilangan pelanggan tetap yang datang pada hari itu, kehilangan pelanggan baru, dan kehilangan kepercayaan karena ini kok ga pernah ada orangnya.
Tapi apa daya, dari sampel beberapa kelurahan yang saya amati, sebagian besar pegawainya tidak akan sampai berfikir sejauh itu, karena mental bersaing mereka sangat rendah. Mungkin sebagian besar pegawai kelurahan itu berfikir bahwa orang-orang yang datang untuk mengurus dokumen di kelurahan itu semacam pengangguran yang rumahnya hanya beberapa meter dari kantor kelurahan sehingga bisa sewaktu-waktu datang untung mengurus dokumen yang sebenernya saya bisa kerjakan sendiri.
Apakah harus itu pegawai-pegawai di kelurahan di Outsourcekan saja? Agar memiliki tingkat persaingan yang tinggi? Jadi apabila mereka tidak memenuhi standar KPI (Key Performance Indicator) tertentu ya tinggal pecat dan ganti dengan pegawai baru.
Ya beginilah, sedikit pengalaman saya menghadapi beberapa urusan di kelurahan, dan ini baru 1 urusan dasar loh, pengurusan KTP, sudah begini ribet dan payahnya. Apalagi jika berurusan dengan hal lain ya?
Saya tidak bermaksud untuk mendiskreditkan para pegawai kelurahan, tapi saya beropini atas kenyataan yang sudah saya temui di beberapa Kantor Lurah di DKI dan Kantor Desa di Kabupaten lain.
Semoga dapat membantu dan menghibur,
Salam
No comments:
Post a Comment