Niatnya sih sudah tersusun sejak lama, mungkin sejak setelah lebaran tahun lalu. Tapi karena kesibukkan pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk ditinggal, akhirnya niat perjalanan ke Bali harus tertunda sampai akhir tahun.
Masa-masa sibuk sudah terlewati, akhirnya ada kesempatan untuk memulai perjalanan. Beberapa barang sudah siap, tidak lupa sepeda dibawa serta untuk menambah keasyikan ketika berkunjung di suatu daerah.
Tapi ya harus memilih satu sepeda saja, karena tidak memungkinkan untuk membawa ketiga jenis sepeda saya. Terpaksa dua sepeda saya yang lain harus dititipkan di workshop kawan.
Kurang lebih awal bulan Desember 2014 saya dan keluarga berangkat. Start berangkat pagi, dengan asumsi apabila perjalanan lancar, maka akan sampai di Solo sore atau menjelang malam hari. Kebetulan punya banyak saudara di Solo, jadi Solo selalu saya jadikan tempat transit. Perjalanan cukup lancar, tentu saja karena belum memasuki musim liburan. Dan sesuai jadwal sampai di Solo setelah Isya (karena membawa balita jadi kami harus sering berhenti untuk istirahat, makan dan segala urusan lainnya).
Di Solo saya menginap di rumah Kakak Ipar saya di dekat perbatasan Klaten. Setelah cukup beristirahat, saya mencoba bersepeda Solo-Jogja, awalnya sih mau foto-foto di Candi Prambanan, tapi ternyata setelah sampai Candi Prambanan sepeda tidak boleh masuk ke dalam lokasi Candi (harus dititipkan di Parkiran Motor). Ya sudah, terpaksa balik lagi ke Solo.
Ternyata setelah saya browsing sebentar, saya menemukan hal yang sangat menarik. Tempat snorkeling tersebut dikenal dengan nama Umbul Ponggok. Oke nanti sebelum pulang ke Jakarta, saya harus mampir ke sini.
Ada sedikit kejadian tidak mengenakkan waktu pulang melewati Klaten. Karena keasyikan membetulkan posisi celana padding yang terlalu ketat, tidak sadar di depan ada mobil yang mau belok masuk gang. Telat mengerem dan cuma satu tangan pula (tangan yang satu sedang membetulkan posisi celana), akibatnya senggolan pun tidak bisa dihindari. Saya terpental dari sepeda dan terbanting di aspal cukup keras. Beruntung tidak ada luka berarti hanya sedikit memar, jersey dan bartape yang sobek. Lebih untungnya lagi tidak ada kerusakan di mobil yang saya tabrak dan orangnya cukup membantu. Ya sudah akhirnya sama-sama minta maaf dan pergi masing-masing.
Setelah cukup pulih dari rasa memar, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan lagi perjalanan ke arah Jawa Timur. Dalam setiap perjalanan saya menuju Jawa Timur (dari Solo), saya selalu menghindari rute Sragen-Ngawi. Rute ini saya hindari karena pertama saya malas dengan lalu lintasnya yang didominasi oleh truk dan bus besar. Dan kedua saya malas dengan polisi yang tiba-tiba suka menyetop kita dengan alasan menginjak marka jalan (walaupun sebenarnya marka tersebut tidak diinjak). Jalur favorit saya adalah Rute Wonogiri-Ponorogo atau Tawangmangu-Madiun. Oleh karena rute Wonogiri-Ponorogo sudah terlalu sering dilewati, maka perjalanan kali ini saya memilih rute Tawangmangu-Madiun. Lagipula perjalanan ini saya tidak diburu waktu, walaupun rute Tawangmangu-Madiun sebenarnya cukup memakan waktu (karena melewati jalan berliku-liku melalui Gunung Lawu). Di sisi lain, rute ini saya pilih juga sebagai pembuktian bahwa apa yang (katanya) orang-orang bilang bahwa mobil keluarga berpenggerak depan kurang kuat buat nanjak. Nyatanya segala tanjakkan dan tikungan di daerah Tawangmangu lancar saja dilalui,bahkan dengan muatan sekalipun (isi 3 orang, barang bawaan di belakang dan sepeda di konde).
Rupanya kondisi jalan yang meliuk-liuk membuat Istri dan Si Kecil agak sedikit mabuk darat. Oleh karena itu terpaksa saya menepikan mobil sebentar di sebuah kedai kopi yang cukup nyaman juga tempat, tapi sayang saya lupa namanya. Mungkin lain waktu kalau saya lewat Tawangmangu saya akan mampir kesini lagi, terlebih lagi kedai kopi ini punya koneksi Wifi gratis dan internetnya cukup kencang untuk di daerah gunung,
Tempat transit berikutnya adalah Blitar. Ya tentu saja, karena ini kampung halaman istri saya dan tempat tinggal mertua saya. Jadi agak sedikit lama saya tinggal di Blitar, sekaligus untuk memulihkan fisik, maklum nyetir non-stop tanpa pengganti ratusan kilometer cukup menguras tenaga. Di Blitar saya juga menyempatkan diri untuk berkeliling dengan sepeda.
Kebetulan lokasi rumah mertua yang di daerah pegunungan sehingga banyak tempat yang asyik untuk dikunjungi dengan sepeda, tapi sayangnya sepeda yang saya bawa adalah sepeda balap dengan ban aspal. Jadinya hanya bisa menikmati dari pinggir saja, tidak bisa blusukan lebih jauh ke dalam.
Mumpung masih di Blitar, saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke Malang. Saya senang sekali dengan suasana Malang, kotanya cukup sejuk, banyak pilihan hiburan dan tentu saja kulinernya, saking banyaknya pilihan saya sampe sering bingung mau makan apa.
(Harmoni Cafe n Resto, Jl. Bromo, Malang)
(Blooms, Jl. Langsep, Malang)
Setelah beberapa beristirahat dan dirasa Lala sudah kuat kembali, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Rute saya pilih Blitar-Malang-Probolinggo-Banyuwangi. Perjalanan menuju Banyuwangi cukup lancar, kami tiba di pelabuhan Ketapang sekitar jam 4 sore. Suasana pelabuhan pun cukup sepi, begitu juga di dalam feri. Waktu penyebrangan kurang lebih sekitar 45 menit.
Berkunjung ke Bali tentu saja hal pertama yang dicari adalah Pantainya. Kami sekeluarga memilih Pantai Nusa Dua karena pantainya cukup landai dan ombaknya tenang. Lala sangat senang sekali bermain di pantai ini, apalagi Lala bertemu dengan teman baru sesama balita juga, dari Rusia.
Ketika sedang asyik main di pantai, saya ditawari oleh pengemudi perahu boat untuk paket trip ke pulau penyu dan juga snorkeling. Tentu saja tawaran ini tidak dapat saya tolak. Tapi sebelumnya si pengemudi berpesan agar harga yang diberikan tidak diberitahukan kepada turis asing, sebab dia memberi harga yang berbeda antara turis lokal dengan turis asing. Akhirnya kami sekeluarga pergi ke pulau penyu tersebut. Perjalanan menempuh waktu kurang lebih 30 menit dengan perahu boat. Setibanya di lokasi, kami langsung disambut oleh staff pulau tersebut dan diberi hidangan pembuka (berbayar tentunya), oiya jangan lupa siapkan uang tunai kurang lebih 10.000 rupiah per orang untuk biaya masuk ke pulaunya.
Setelah cukup puas melihat penangkaran penyu-penyu dan beberapa hewan lain (ada beberapa jenis burung dan juga beberapa jenis reptil), kami harus kembali ke pantai tempat kami berangkat tadi. Tapi sebelumnya saya harus mencoba snorkeling terlebih dahulu.
Sayangnya saya kurang puas dengan perlengkapan snorkeling sewaan tersebut.
Hari berikutnya adalah mampir ke rumah kawan saya sesama penggemar sepeda di daerah Ubud. Sebelumnya saya belum pernah ketemu dengan kawan saya, hanya sering berkomunikasi melalui forum sepeda di Internet. Setelah puas ngobrol ngalur ngidul tentang sepeda, saya harus berpamitan untuk kembali ke penginapan, pulangnya tidak lupa untuk mampir melihat-lihat monyet di Ubud Monkey Forest. Monyet-monyetnya sebenernya cukup jinak, yang penting kita tidak usil duluan ke mereka.
Setelah lelah berkunjung ke beberapa lokasi wisata, maka jadwal hari berikutnya adalah Kuliner. Kebetulan istri dapat informasi mengenai restoran burger yang recommended di daerah Seminyak. Akhirnya kami meluncur ke lokasi, dan benar saja, review jarang meleset. Burgernya cukup enak dengan harga yang cukup wajar.
(Wacko Burger)
Oleh karena hari masih siang dan lokasi restoran masih dekat dengan pantai, maka tidak ada salahnya untuk sekedar mampir melihat-lihat pantainya. Tapi sebelumnya saya dan istri membuat perjanjian dengan Lala, karena kemarin Lala sudah main di pantai, jadi hari ini cuma lihat-lihat saja ya, tidak main air di pantai. Karena kami tidak ada yang bawa baju ganti dan untungnya Lala menyanggupi perjanjian tersebut.
Tapi apa daya, janji tinggal janji. Yang namanya Lala kalau lihat air langsung histeris dan akhirnya main air lagi deh kami...
Terpaksa kami pulang ke penginapan dengan kondisi basah kuyup karena hanya Lala yang bawa baju ganti sementara saya dan istri tidak.
Hari berikutnya sebelum kami pulang kembali ke Pulau Jawa, kami harus menyempatkan diri untuk melihat tari kecak di Uluwatu. Perjalanan ke Uluwatu ternyata cukup memakan waktu daripada yang saya bayangkan. Untungnya kami tiba di lokasi tepat waktu dan acaranya baru saja di mulai. Tidak lupa siapkan uang kurang lebih 100.000/orang untuk membeli tiket tari kecaknya.
Melihat keepikan cerita Ramayana sambil menikmati matahari terbenam sungguh sangat memukau. Setiap tamu yang datang untuk melihat tari kecak disediakan skrip ceritanya sesuai dengan asal turisnya. Saya rasa harga tiket tersebut cukup sepadan, mengingat panitia juga harus membuat skrip dan memfoto kopi dalam berbagai bahasa, belum lagi untuk honor para artis tarinya dan biaya perawatan lokasi.
Sebenarnya kami masih ingin tinggal lebih lama lagi di Bali, tapi apa daya rutinitas di Ibukota sudah menunggu. Akhirnya kami harus kembali meninggalkan Bali. Perjalanan pulang ke arah pelabuhan Gilimanuk kali ini saya mencoba melalui jalur Utara Bali. Dari Denpasar saya mengambil rute Bedugul menuju Buleleng. melewati Danau Beratan. Sebenarnya saya ingin mencoba jalur yang melalui Danau Batur, tapi nanti sampai Gilimanuk bisa terlalu malam. Ternyata rute Buleleng-Gilimanuk didominasi jalur yang lurus dan panjang, tapi dari segi pemandangan kurang bisa dinikmati, karena pantai Utara Bali kurang lebih hampir sama dengan Pantai Utara di Pulau Jawa (bukan hamparan pasir putih dan ombak yang seru). Sampai di Gilimanuk menjelang sore, waktu tempuh penyebrangan juga sama dengan waktu berangkat, tapi bedanya kondisi feri cukup penuh. Sampai di Banyuwangi sudah menjelang malam dan kami memutuskan untuk menginap di rumah saudara di Banyuwangi.
Singkat cerita, kami sudah sampai lagi di Blitar untuk memulihkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Ibukota. Selama di Blitar saya masih tetap terbayang pesona Snorkeling di Umbul Ponggok, Klaten (melihat-lihat gambar dari Internet). Di awal saya berjanji untuk mampir ke Umbul Ponggok tersebut itu, tetapi saya ingat pengalaman saya menggunakan alat snorkeling yang kurang memuaskan waktu di Bali. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli sendiri perlengkapan snorkeling. Oleh karena di Blitar tidak ada, saya terpaksa harus menyetir ke Surabaya pulang-pergi hanya demi membeli perlengkapan snorkeling yang memadai.
Beberapa hari berlalu di Blitar, akhirnya kami memulai lagi perjalanan pulang ke Ibukota. Seperti biasa melewati Solo sebagai tempat transit. Setelah transit satu malam, besoknya saya melanjutkan perjalanan lagi. Tentunya mampir ke Umbul Ponggok terlebih dahulu. Beruntung saya mampir pada hari biasa dan siang hari, jadi lokasinya cukup sepi dan sinar matahari sangat cukup menyinari sampai dasar kolam.
Sekilas mengenai Umbul Ponggok adalah sebuah kolam mata air tawar yang cukup luas dengan ribuan (mungkin hingga puluhan-ratusan ribu) ikan hidup di dalamnya. Jadi kita bisa menikmati kesegaran mata air dan juga menikmati sensasi berenang bersama ikan. Walaupun berenang bersama ikan-ikan kolam tersebut tidak amis karena airnya selalu mengalir. Tiket masuknya pun sangat murah (bahkan terlalu murah bagi saya), hanya 5.000 saja. Di sini juga disediakan persewaan perlengkapan selam, mulai dari pelampung, snorkel hingga alat scuba diving juga ada.
Dasar kolamnya adalah hamparan pasir dengan batu-batuan berbagai ukuran. Tapi sayang, saya masih sering melihat ada beberapa sampah yang terselip diantara pasir dan batu-batuan. Mengobrol dengan kawan saya yang tinggal di Jogja mengenai Umbul Ponggok, dia kasih saran sebaiknya memang kalau ke Umbul Ponggok hari biasa, jangan weekend atau hari libur, karena airnya keruh. Bisa jadi karena dasarnya adalah pasir, dengan banyaknya orang yang berenang bisa saja pasirnya naik yang menyebabkan airnya keruh.
Setelah puas beberapa jam snorkeling di Umbul Ponggok, kami harus melanjutkan lagi perjalanan menuju Jakarta. Total kilometer yang kami tempuh mulai dari berangkat hingga pulang tercatat hampir 7200km.
Asyikkk sekaliii...
ReplyDeleteterima kasih bro sudah mampir dan membaca blog saya
Deletenice
ReplyDelete