Monday, 4 July 2022

Traveling Singkat Sukoharjo-Dieng Juli 2022

Ketika baru bangun hari jumat lalu, istri ngajak ke Sukoharjo, nengok keponakan yang baru lahiran. Saya langsung iyakan saja, mumpung anak-anak masih liburan sekolah dan kerjaan masih bisa ditinggal sebentar. Setelah selesai nengok kerjaan sebentar, lalu tidur siang, kami keluar rumah sekitar pukul 15.00. Hmmm keluar Ibukota jumat sore? Kebayang macet di tolnya gimana, batin saya... Tidak lupa isi pertalite sebelum masuk tol BSD. Saya isi 200ribu. Lalu menelpon keponakan yang mau ikut nebeng, untuk bersiap-siap. Si keponakan posisinya menunggu di dekat gerbang tol Karawang Timur.


Apa yang saya prediksi ternyata benar, macet total dari simpang tol veteran hingga simpang tol Kampung Rambutan-Jagorawi (imbas macet menuju tol arah bogor). Dari masuk tol BSD sampai keluar tol Karawang Timur memakan waktu 4 jam lebih!
Setelah keponakan masuk mobil, langsung saya masuk tol lagi melanjutkan perjalanan menuju Sukoharjo. Sepanjang tol dilalui dengan santai, maksimum 100kpj. Kondisi jalan tol cukup lengang, sempat ada satu titik macet karena ada evakuasi kecelakaan fortuner terbalik di median tol Cipali.


Pertalite yang diisi 200ribu pada saat berangkat, saya isi lagi di rest area Batang. Pada saat isi awal, saya isi dalam kondisi lampu peringatan bensin habis menyala. Dipakai dalam kondisi macet sepanjang tol JORR hingga jalan santai sampai tol Batang, MID menunjukkan angka 1:17,5.
Dari awal mobil masih baru selalu pakai pertamax saya pernah hitung pakai metode empty to empty (dari warning light nyala diisi, dipakai jalan sampai ketemu warning light nyala lagi), hasil antara MID dan pengukuran manual terpaut tipis, cuma nol koma sekian selisinya. Semenjak pertamax naik tinggi terpaksa pindah ke pertalite dan memang selama pakai pertalite saya ga pernah nyoba ukur FC secara manual. Di kesempatan ini, saya nyoba ukur manual, ternyata cuma dapat angka 1:16 (koma kecil) selisih 1,5 km/l lebih!
Akhirnya saya ambil kesimpulan, pakai pertalite, selain terasa penurunan tenaga, terasa borosnya, juga bikin perhitungan MID tidak akurat. Hal yang tidak saya temukan selama saya pakai pertamax!!


Kegiatan kami di Sukoharjo cuma sebentar, harus kembali pulang karena pekerjaan sudah menunggu. Tapi kalau hanya sekedar langsung pulang kok ga seru. Mau coba iseng mampir Dieng lewatin tol Kayangan. Sepanjang perjalanan dari Sukoharjo ke Dieng, via Magelang-Wonosobo tidak ditemui kendala berarti. Rute-rute tanjakan dan kelokan sepanjang Magelang Wonosobo gampang dilalui di posisi O/D off dan AC menyala.
Ketika sudah sampai Dieng dan menuju tol Kayangan baru harus rajin mainin tuas ke posisi 2 bahkan L. Sebenernya di posisi 2 juga kuat, tapi sering mindah ke gear 2 tidak pada waktunya, padahal masih butuh rpm buat napas eh malah dipindah sama gearboxnya. Mungkin ini yang menyebabkan banyak kasus mobil matic gagal nanjak, bukan salah mobilnya tapi dominan salah usernya.







Di atas tol Kayangan saya berhenti di sebuah cafe rooftop, menikmati segelas kopi tubruk lokal dan singkong goreng. Mengamati mobil mobil yang melintas di jalur ini. Banyak Avanza-Xenia old berhasil nanjak dengan mulus, walaupun mesinnya gerung-gerung. Lalu terlihat juga BRV lama melintas dengan mulus, meskipun mesinnya juga meraung raung. Beberapa SUV masa kini dengan turbo diesel merem lah. Tapi ada satu yang menjadi perhatian, yaitu ertiga lama (K14B) yang gagal nanjak. Saya perhatikan dari rooftop sampai dilakukan lebih dari 3x percobaan, sampai akhirnya berhasil karena ambil ancang-ancang yang cukup jauh. Terlihat ertiga tersebut selalu tutup kaca, asumsi saya dia selalu pakai AC. Mungkin ada baiknya kita juga harus mawas diri, bahwa mobil kelas ini torsinya kecil, pemakaian AC dan juga gagal mainkan momentum membuat tanjakan yang simpel jadi gagal dilewati. Lagipula, di tengah suhu 15°C, ngapain juga pake AC? Hehehe..




Saya tidak melanjutkan tol Kayangan turun ke arah Bawang, Kab. Batang, tapi balik turun lagi ke Dieng, lewat jalan alternatif jalan Bandar-Batur. Sebuah rute alternatif menuju Batang-Pekalongan, melalui jalur hutan heterogen dan juga jalan rusak. Jalanan rusak menurun sepanjang rute tentu tidak sehat buat mobil. Meskipun posisi tuas selalu di L, tapi kaki selalu menahan rem untuk mengendalikan laju. Sampai akhirnya tercium bau gosong ketika lewat di perkebunan teh. Baiklah, ini kode bahwa mobil minta berehenti. Istirahat sejenak di kebun teh sambil ngademin rem ga ada salahnya. Panas dari rem sampai menjalar ke velg. Bahkan saya ga berani nyentuh velg, daripada tangan saya melepuh. Mirip-mirip silinder head hawa panas dari velg. Biarkan rem dingin sendiri terkena udara, jangan sekali kali disiram air.



Baru istirahat sebentar, eh si anak bungsu kebelet untuk segera ke WC. Beruntung masih ada sinyal 4G walaupun di tengah perkebunan teh, kami menemukan sebuah coffee shop kekinian dengan tema industrial. Saking herannya, saya sampe nanya ke baristanya, "mbak, emangnya rame bikin tempat wah jauh darimana-mana?" Dan jawabannya ternyata cukup mengejutkan, jalur ini walaupun hutan dan jalannya rusak, ternyata banyak dilalui traveler yang mau di Dieng atau sebaliknya. Terbukti selama saya numpang istirahat dan makan disana, banyak tamu yang datang dan pergi.



Bagaimana impresi XL7 dibawa nanjak pakai pertalite?
Meskipun tidak sampai ngoyo nanjaknya, akhirnya saya menemukan gejala ngelitik. Gejala yang baru timbul ketika terasa mulai kehilangan momentum. Makanya itu saya sering di posisi tuas 2, bahkan di L ketika ketemu tanjakan berkelok yang curam.
Demikian cerita saya, sampai ketemu di cerita traveling saya berikutnya.


No comments:

Post a Comment