Ketika baru bangun hari jumat lalu, istri ngajak ke
Sukoharjo, nengok keponakan yang baru lahiran. Saya langsung iyakan saja,
mumpung anak-anak masih liburan sekolah dan kerjaan masih bisa ditinggal
sebentar. Setelah selesai nengok kerjaan sebentar, lalu tidur siang, kami
keluar rumah sekitar pukul 15.00. Hmmm keluar Ibukota jumat sore? Kebayang
macet di tolnya gimana, batin saya... Tidak lupa isi pertalite sebelum masuk
tol BSD. Saya isi 200ribu. Lalu menelpon keponakan yang mau ikut nebeng, untuk
bersiap-siap. Si keponakan posisinya menunggu di dekat gerbang tol Karawang
Timur.
Apa yang saya prediksi ternyata benar, macet total dari simpang tol veteran
hingga simpang tol Kampung Rambutan-Jagorawi (imbas macet menuju tol arah
bogor). Dari masuk tol BSD sampai keluar tol Karawang Timur memakan waktu 4 jam
lebih!
Setelah keponakan masuk mobil, langsung saya masuk tol lagi melanjutkan
perjalanan menuju Sukoharjo. Sepanjang tol dilalui dengan santai, maksimum
100kpj. Kondisi jalan tol cukup lengang, sempat ada satu titik macet karena ada
evakuasi kecelakaan fortuner terbalik di median tol Cipali.
Pertalite yang diisi 200ribu pada saat berangkat, saya isi lagi di rest area
Batang. Pada saat isi awal, saya isi dalam kondisi lampu peringatan bensin
habis menyala. Dipakai dalam kondisi macet sepanjang tol JORR hingga jalan
santai sampai tol Batang, MID menunjukkan angka 1:17,5.
Dari awal mobil masih baru selalu pakai pertamax saya pernah hitung pakai
metode empty to empty (dari warning light nyala diisi, dipakai jalan sampai
ketemu warning light nyala lagi), hasil antara MID dan pengukuran manual
terpaut tipis, cuma nol koma sekian selisinya. Semenjak pertamax naik tinggi
terpaksa pindah ke pertalite dan memang selama pakai pertalite saya ga pernah
nyoba ukur FC secara manual. Di kesempatan ini, saya nyoba ukur manual,
ternyata cuma dapat angka 1:16 (koma kecil) selisih 1,5 km/l lebih!
Akhirnya saya ambil kesimpulan, pakai pertalite, selain terasa penurunan
tenaga, terasa borosnya, juga bikin perhitungan MID tidak akurat. Hal yang tidak
saya temukan selama saya pakai pertamax!!
Kegiatan kami di Sukoharjo cuma sebentar, harus kembali pulang karena pekerjaan
sudah menunggu. Tapi kalau hanya sekedar langsung pulang kok ga seru. Mau coba
iseng mampir Dieng lewatin tol Kayangan. Sepanjang perjalanan dari Sukoharjo ke
Dieng, via Magelang-Wonosobo tidak ditemui kendala berarti. Rute-rute tanjakan
dan kelokan sepanjang Magelang Wonosobo gampang dilalui di posisi O/D off dan
AC menyala.
Ketika sudah sampai Dieng dan menuju tol Kayangan baru harus rajin mainin tuas
ke posisi 2 bahkan L. Sebenernya di posisi 2 juga kuat, tapi sering mindah ke
gear 2 tidak pada waktunya, padahal masih butuh rpm buat napas eh malah
dipindah sama gearboxnya. Mungkin ini yang menyebabkan banyak kasus mobil matic
gagal nanjak, bukan salah mobilnya tapi dominan salah usernya.
Di atas tol Kayangan saya berhenti di sebuah cafe rooftop, menikmati segelas
kopi tubruk lokal dan singkong goreng. Mengamati mobil mobil yang melintas di
jalur ini. Banyak Avanza-Xenia old berhasil nanjak dengan mulus, walaupun
mesinnya gerung-gerung. Lalu terlihat juga BRV lama melintas dengan mulus,
meskipun mesinnya juga meraung raung. Beberapa SUV masa kini dengan turbo
diesel merem lah. Tapi ada satu yang menjadi perhatian, yaitu ertiga lama
(K14B) yang gagal nanjak. Saya perhatikan dari rooftop sampai dilakukan lebih
dari 3x percobaan, sampai akhirnya berhasil karena ambil ancang-ancang yang
cukup jauh. Terlihat ertiga tersebut selalu tutup kaca, asumsi saya dia selalu
pakai AC. Mungkin ada baiknya kita juga harus mawas diri, bahwa mobil kelas ini
torsinya kecil, pemakaian AC dan juga gagal mainkan momentum membuat tanjakan
yang simpel jadi gagal dilewati. Lagipula, di tengah suhu 15°C, ngapain juga
pake AC? Hehehe..
Saya tidak melanjutkan tol Kayangan turun ke arah Bawang, Kab. Batang, tapi
balik turun lagi ke Dieng, lewat jalan alternatif jalan Bandar-Batur. Sebuah
rute alternatif menuju Batang-Pekalongan, melalui jalur hutan heterogen dan
juga jalan rusak. Jalanan rusak menurun sepanjang rute tentu tidak sehat buat
mobil. Meskipun posisi tuas selalu di L, tapi kaki selalu menahan rem untuk
mengendalikan laju. Sampai akhirnya tercium bau gosong ketika lewat di
perkebunan teh. Baiklah, ini kode bahwa mobil minta berehenti. Istirahat sejenak
di kebun teh sambil ngademin rem ga ada salahnya. Panas dari rem sampai
menjalar ke velg. Bahkan saya ga berani nyentuh velg, daripada tangan saya
melepuh. Mirip-mirip silinder head hawa panas dari velg. Biarkan rem dingin
sendiri terkena udara, jangan sekali kali disiram air.
Baru istirahat sebentar, eh si anak bungsu kebelet untuk segera ke WC. Beruntung masih ada sinyal 4G walaupun di tengah perkebunan teh, kami menemukan sebuah coffee shop kekinian dengan tema industrial. Saking herannya, saya sampe nanya ke baristanya, "mbak, emangnya rame bikin tempat wah jauh darimana-mana?" Dan jawabannya ternyata cukup mengejutkan, jalur ini walaupun hutan dan jalannya rusak, ternyata banyak dilalui traveler yang mau di Dieng atau sebaliknya. Terbukti selama saya numpang istirahat dan makan disana, banyak tamu yang datang dan pergi.
Bagaimana impresi XL7 dibawa nanjak pakai pertalite?
Meskipun tidak sampai ngoyo nanjaknya, akhirnya saya menemukan gejala ngelitik. Gejala yang baru timbul ketika terasa mulai kehilangan momentum. Makanya itu saya sering di posisi tuas 2, bahkan di L ketika ketemu tanjakan berkelok yang curam.
Demikian cerita saya, sampai ketemu di cerita traveling saya berikutnya.
No comments:
Post a Comment